Tuesday, February 14, 2017

Hutang Piutang

Utang-piutang

a.  Pengertian Utang-piutang

Utang-piutang  adalah  menyerahkan  harta  dan  benda  kepada  seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.

b. Rukun Utang-piutang 
Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu: 
1) yang berpiutang dan yang berutang 
2) ada harta atau barang 
3) Lafadz kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang menjawab, Ya, saya utang dulu, beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah punya akan saya lunasi.”

Untuk menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt. menyarankan agar kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya kelonggaran.
Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya ketika  membayar  utang.”  (sepakat  ahli  hadis).  Abu  Hurairah  ra.  berkata,”Rasulullah saw. telah berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah saw. bersabda,”Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh. Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba. Rasulullah saw. berkata Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka ia semacam dari beberapa macam ribā.” (HR. Baihaqi)


 


Monday, February 13, 2017

Pembahasan Mengenai Riba



Pengertian Riba : Landasan Hukum Riba

Riba hukumnya adalah haram berdasarkan pada firman-firman Allah swt dan sabda-sabda Rasulullah saw, di antaranya adalah sebagai berikut:
Firman Allah swt:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ 
Artinya: orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (QS. Al Baqarah [2]: 275).
Friman Allah swt lainnnya adalah:
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٣٠
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS. Ali Imran [3]: 130).
1. Berbagai sabda Rasulullah saw diantaranya adalah “Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, dua orang saksinya, dan penulisnya (sekretarisnya)”. (HR penulis sunan, At Tirmidzi menshahihkan hadits ini)
2. Sabda Rasulullah yang lain: “satu dirham riba yang dimakan seseorang dengan sepengetahuannya itu lebih berat dosanya daripada tiga puluh enam berbuat zina” (HR. Ahmad dengan sanad shahih)
3. Sabda Rasulullah saw: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu, pintu yang paling ringan adalah seperti seseorang menikahi ibu kandungan” (HR. Al Hakim dan ia menshahihkannya)

Macam Macam Riba

Riba adalah tambahan  uang pada sesuatu komoditas yang khusus, riba terbagi ke dalam dua bagian yaitu riba fadl dan riba nasi’ah. Berikut macam macam riba:

Riba Tambahan Dalam Jual Beli (Riba Fadl)

Islam melarang riba (bunga) atas jual beli atau perniagaan, pengertian riba tambahan dalam jual beli (riba fadl) adalah jual beli satu jenis barang dari barang-barang ribawi dengan barang sejenisnya dengan nilai (harga) lebih, misalnya: misalnya, jual beli satu kwintal beras dengan satu seperempat kwintal beras sejenisnya, atau jual beli satu sha’ kurma dengan satu setengah sha’ kurma, atau jual beli satu ons perak dengan satu ons perak dan satu dirham.

Riba Dalam Utang Piutang (Riba Nasi’ah)

Riba dalam utang piutang (nasi’ah) terbagi ke dalam dua bagian, yaitu sebagai berikut:
*Riba jahiliyah, riba inilah yang diharamkan Allah dalam firmannya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda (QS. Ali Imran [3]: 130).
Hakikat pengertian riba adalah contohnya seperti ini, si A mempunyai piutang pada si B yang akan dibayar pada suatu waktu. Ketika telah jatuh tempo, si A berkata kepada si B, “engkau melunasi utangmu atau aku beri tempo waktu dengan uang tambahan”. Jika si B tidak melunasi utangnya pada waktunya, si A meminta uang tambahan dan memberi tempo lagi. Begitulah hingga akhirnya, dalam beberapa waktu, utang si B menumpuk berkali-kali lipat dari utang awalnya.
Di antara bentuk lain riba jahiliyah ialah si A meminjamkan uang sebesar Rp 100.000,- kepada si B hingga waktu tertentu dan si B harus mengembalikan hutangnya plus uang tambahan (riba) sebesar Rp. 150.000,-.
*Riba nasi’ah berasal dari kata fi’il madli nasa’a yang berarti menunda, menangguhkan, menunggu, atau merujuk pada tambahan waktu yang diberikan pada pinjaman dengan memberikan tambahan atau nilai lebih. Dengan demikian, riba nasi’ah identik dengan bunga dan pinjaman.
Contoh, seseorang menjual satu kwintal kurma dengan satu kwintal gandum atau beras hingga waktu tertentu, atau ia menjual sepeluh dinar emas dengan seratus dua puluh dirham perak hingga waktu tertentu.


Saturday, February 11, 2017

KHIYAR



Pengertian Khiyar
Akad yang sempurna haruslah terhindar dari khiyar, yang memungkinkan aqid (orang yang akad) membatalkannya. Pengertian Khiyar menurut ualama fiqih adalah suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya.

Macam-macam Khiyar

1. Khiyar majelis

Secara bahasa majelis berarti tempat duduk, bila dikaitkan dengan khiyar maka memilki arti  hak untuk meneruskan atau membatalkan jual beli selama penjual dan pembeli belum berpisah atau keduanya masih bersama-sama ditempat tersebut.
Dalam transaksi jual beli tidak bisa serta merta pelaku transaksi membatalkan jual beli,atau mengunakan hak khiyanya dengan sekehendak hati,sehingga merugikan atau menyakiti salah satu pihak,agar tidak terjadi kedzaliman dalam pengunaan khiyar maka islam pun juga mengatur bagaimana cara mengugurkan khiyar mejelis dengan baik yaitu seperti yang disebutkan dalam hadist ibnu umar r.a :“Dan bila salah satu dari keduanya menawarkan pilihan,kemudian mereka berjual beli dengan asas pilihan yang ditawarkan tersebut maka selesaikanlah akad jula beli tersebut.”
Berdasarkan potongan hadist diatas masing-masing dari keduanya diperbolehkan menawarkan kepada kawannya agar hak ini digugurkan sehingga penjualan tersebut telah selesai,walaupun masih bersama-sama dalam satu tempat. Dan juga berdasarkan hadist yang telah tertera pada bahasan yang telah lalu,walaupun batasan berlakunya hak khiyar adalah berpisah namun tidak dibenarkan bagi keduanya untuk dengan sengaja terburu-buru memisahkan dirinya dari lawan transaksinya dengan tujuan mengugurkan hak ini. Akan tetapai berlaku sewajarnya (sesuai dengan kaidah-kaidah norma kesopanan). Menurut para ulama hal pilih khiyar ini tidak hanya berlaku pada jual beli, melainkan berlaku pada transaksi lain yang serupa yaitu sewa-menyewa,valas,akad salam,karena semua merupakan akad yang bersifat mengikat.Sedangkan pada akad yang tidak bersifat berlaku ketentuan lain seperti akad mudharabah,perwakilan,serikat dagang dan lain-lain. 
Cara mengugurkan Khiyar tersebut ada tiga :
•Penguguran Jelas (Sharih)
Penguguran sharih ialah penguguran oleh orang yang berkhiyar, seperti menyatakan,”Saya batalkan khiyar dan saya rida.”Dengan demikian,akad menjadi lazim (sahih).Sebaliknya akad gugur dengan pernyataan,”Saya batalkan atau saya gugurkan akad.”
•Pengguguran Dengan Dilalah
Pengguguran dengan Dilalah adalah adanya tasharuf (beraktifitas dengan barang tersebut ) dari perilaku khiyar yang menunjukkan bahwa jual-beli jadi dilakukan,seperti pembeli menghibahkan barang tersebut kepada orang lain,atau sebaliknnya, pembeli mengembalikan kepemilikan kepada penjual.
•Pengguran Khiyar Dengan dengan Kemadharatan
Pengguran Khiyar dengan kemadharatan ini disebabkan oleh beberapa hal,antara lain sebagai berikut :
a. Habis Waktu
Khiyar menjadi gugur setelah habis waktu yang tealah ditetapkan walaupun tidak ada pembatalan dari yangberkhiyar.Dengan demikian akad menjadi lazim.  Hal ini sesuai dengtan pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah.
Menurut ulama Malikiyah,akad tidak lazim dengan berakirnya waktu,tetapi harus ada ketetapan dari yang berkhiyar sebab khiyar bukan kewajiban.Oleh karene itu,akad tidak gugur karna berkirnya waktu,contohnya,janji seorang tuan terhadap budak untuk dimerdekakan pada waktu tertentu.Budak tersebut tidak merdeaka karena berkhirnya waktu.
b. Kematian Orang yang Memberikan Syarat
Jika orang yang memberikan syarat meninggal dunia, maka khiyar menjadi gugur, baik yang meninggal itu sebagai pembeli maupun penjual, lalu akad pun menjadi lazim,sebab tidak mungkin menbatalkannya.Namun tetang kewarisan syarat para ulama berbeda pendapat , antara lain :
1.     Menurut ulama Hanafiyah, khiyar syarat tidak dapat diwariskan, tetapi gugur dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat.
2.     Ulama hanbaliyah berpendapat bahwa bahwa khiyar menjadi batal dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat, kecuali jika ia mengamanatkan untuk membatalkannya,dalam hal ini,khiyar menjadi kewajiban ahli waris.
3.     Ulama syafi’iyah dan malikiyah berpendapat bahwa khiyar menjadi haknya ahli waris,dengan demikian,tidak gugur dengan meninggalnya orang yang memberikan syarat.
c. Adanya hal-hal yang semakna dengan mati
Khiyar gugur dengan adanya hal-hal yang serupa dengan mati, seperti gila, mabuk, dan lain-lain. Dengan demikian,jika akal seseorang hilang karena gila, mabuk, tidur, akadnya menjadi lazim.
d. Barang rusak  ketika masa khiyar
Tentang rusaknya barang ketika khiyar terdapat beberapa masalah,apakah rusaknya setelah diserahkan kepada pembeli atau masih dipegang penjual dan lain-lain,sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini :
Jika barang masih ditangan pembeli batallah jual-beli dan khiyar pun gugur.
Jika barang sudah pada tangan pembeli,jual beli batalnjika khiyar berasal dari penjual,tetapi pembeli harus menggantinya.
Jika barang suadah ada ditangan pembeli dan khiyar dati pembeli,jual-beli menjadi lazim dan khiyar pun gugur.
e. Adanya cacat pada barang
Dalam masalah ini terdapat beberapa penjelasan :
Jika khiyar berasal dari penjual, dan cacat terjadi dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual-beli batal. Akan tetapi, jika cacat karena perbuatan pembeli atau orang lain, khiyar tidak gugur dan pembeli berhak khiyar dan bertanggung jawab atas kerusakannya.Begitu juga dengan orang lain.
Jika khiyar berasal dari pembeli dan ada cacat, khiyar gugur, tetapi jual-beli tidak gugur, sebab barang menjadi tanggung jawab pembeli.

2. Khiyar Syarat

Pengertian khiyar syarat menurut ulama fiqih adalah :“suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang melakukan akad atau masing-masing akid atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”
Misalnya seorang pembeli berkata,” Saya beli dari kamu barang ini ,dengan catatan saya ber-khiyar (mempertimbangkan) selama sehari atau tigahari.”
Di syariatkannya khiyar syarat ini berdasarkan hadist nabi yang telah tersebut di atas yaitu :“Dan bila salah satu dari keduanya menawarkan pilihan.kemudian mereka berjual beli dengan asas pilihan yang ditawarkan tersebut maka selesailah akad jual beli tersebut.”
Sebagian ulama menafsirkan hadis tini : Bahwa bila salah satu dari keduanya memberikan tawaran berupa pilhan kepada lawan transaksinya untuk memperpanjang masa berlakunya hak pilihi ni,kemudian mereka menyetujuinya,maka akad jual beli selesai,sesuai dengan tawaran tersebut dan penafsiran ini selaras dengan prinsip suka sama suka,sebab prinsip ini dikembalikan seutuhnya kepada kedua belah pihak yang bertransaksi.
Jumhurul ulama sepakat (ijma’) bahwa boleh bagi orang yang berjual-beli melakukan transaksi semacam ini.
Dalam menentukan batas maksimal khiyar syarat para ulama berselisih pendapat sesuai dengan metode ijtihad masing-masing yaitu :
a. Madzhab hambali : masing-masing penjual dan pembeli berhak menetapkan persyaratan sesuka mereka, tanpa ada batas waktu.mereka beralasan bahwa hak mengadakan persyaratan adalah hak mereka berdua,sehingga bila keduanya rela mengadakan syarat hak untuk membatalkan dalam waktu lama, maka itu terserah kepada mereka berdua karena tidak ada dalil yang membatasinya.
b. Madzhab Hanafi dan Asy-Syafi’i : Lama hak yang dipersyaratkan tidak boleh lebih dari tiga hari,mereka mengambil dalil dari perkataan umar bin khattab berikut : Umar bin Khattab berkata,”Aku tidak mendapatkan dalil yang menetapkan adanya persyaratan yang lebih lama disbanding yang ditetapkan oleh Rosulullah SAW untuk Habbban bin Munqiz,beliau menetapkan untuknya hak pilih selama tiga hari,bila ia suka ia meneruskan pembeliannya,dan bila tidak suka,maka ia membatalkannya,” (HR.Ad-Daruquthni dan Ath-Thabrani,dan dilemahkan oleh Hafidz ibnu Hajar)
c. Madzhab Maliki yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah : Lama hak pilih yang di syaratkan boleh lebih dari tiga hari sesuai dengan kebutuhan dan barang yang diperjual belikan, mereka beralasan bahwa hak semacam ini demi kemaslahatan masing-masing pihak yakni kemslahatan yang berkaitan dengan barang yang mereka perjual-belikan,sehingga harus disesuaikan dengan keadaan barang tersebut.

Dari sekian pendapat yang ada yang terkuat adalah yang ketiga, sebab beragamnya barang yang diperjual-belikan,ada barang yang tahan lama dan ada pula yang bersifat sementara.

3. Khiyar Aib/Cacat

Khiyar aib adalah khiyar yang disyariatkan karena tidak terwujudnya kriteria yang diinginkan pada barang baik diinginkan menurut kebiasaan masyarakat atau karena ada persyaratan atau karena ada praktek pengelabuhan. Dan yang dimaksud dengan kriteria yang diinginkan menurut kebiasaan masyarakat ialah tidak adanya cacat pada barang tersebut.”
Dasar hukumnya adalah :“Dari Abdul Majid bin Wahab ia mengisahkan, Al-Addaa’ bin Kholid bin Hauzah berkata kepadaku : sudikah engkau aku bacakan kepadamu surat yang dituliskan Rasululloh untukku?, aku pun menjawab : tentu, kemudian ia mengeluarkan secarik surat, dan ternyata isinya : “ inilah pembelian Al-Adaa’ bin Kholid bin Hauzah dari Muhammad Rasululloh, Al-Adaa’ membelinya dari nabi seorang budak laki=laki atau budak perempuan yang tidak ada penyakitnya, perangai  yang buruk, tidak ada pengelabuhan, sebagaimana penjualan orang muslim kepada orang muslim lainnya.”(HR. At-Turmudzi, Ibnu Majah, Ath-Thabrani, Al-baihaqy, dan dihasankan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani dan Al-Albani)
Dan juga hadits Rasululloh yang berbunyi :“Dari Aisyah R.A. : Bahwa ada seorang lelaki yang membeli seorang budak, kemudian ia memperkerjakannya, lalu ia mendapatkan pada budak tersebut suatu cacat, sehingga ia mengembalikannya (kepadda penjual). Maka penjual mengadu kepada Rasululloh dan berkata : Wahai Rasululloh, sesungguhnya ia telah memperkerjakan buidakku? Maka beliu bersabda : “Keuntungan itu addalah tanggungjawab atas jaminan,”(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqy dan dihasankan oleh Al-Albani)
Sebagian ulama mengungkapkan definisi aib atau cacat yang dimaksud adalah: “ Setiap hal yang menyebabkan berkurangnya harga suatu barang.
Dari definisi dan juga penjelasan sebelumnya dapat dipahami  bahwa cacatt yang dapat menjadi alasa untuk membatalkan penjualan adalah cacat yang terjadi pada barang sebelum terjadinya akad penjualan, atau disaat sedang akad penjualan berlangsung atau  sebelum barang diserah-terimakan kepada pembeli.
Menurut ulama Hanafiyah cara pembatalan cukup dengan lisan dengan syarat diketahui oleh pemilik barang,    baik pemilik barang rido ataupun tidak. Sebaliknya, jika pembatalan tidak diketahui oleh penjual, baik khiyarnya berasal dari penjual ataupun pembeli, pembatalan ditangguhkan sampai diketahui penjual. apabila habis waktu khiyar dan penjual tidak mengetahuinya, akad menjadi lazim. Ulama Malikiyah, Hanbaliyah, Syafi’iyah berpendapat bahwa apabila khiyar bersal dari pembeli,pembatalan dipandang sah walaupun tidak diketahui penjual.hal ini karena adanya khiyar menunjukkan bahwa penjual rela apabila pembeli membatalkan kapan saja pembeli membatalkannya.
Hukum akad pada masa khiyar, yaitu:
1.     Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual-beli yang mengandung khiyar, tetapi ditunggu sampai gugurnya khiyar.
2.     Ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad, Barang yang ada pada masa khiyar masih milik penjual, sampai gugurnya khiyar,sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.
3.     Ulama Syafi’iyah berpendapat,jika khiyar syarat berasal dari pembeli,barang menjadi milik pembeli.Sebaliknya jika khiyar syarat menjadi milik penjual,barang menjadi milik penjual.Jika khiyar berasal dari keduanya,ditunggu sampai jelas (gugurnya khiyar).
4.     Ulama Hanbaliyah,dari siapapun khiyar berasal,barang tersebut menjadi milik pembeli.Jual-beli dengan khiyar,sama seperti jual beli lainnya,yakni menjadikan pembeli sebagai pemilik barang yang tadinya milik penjual. Mereka mendasarkannya pada hadist Nabi SAW.dari ibnu Umar;

’’Barang siapa yang menjual hamba yang memilki harta maka harta tersebut milik penjual,kecuali bila pembeli mensyaratkannya.”
Dari hadist tersebut,Rosulullah SAW.menetapkan bahwa harta menjadi milik pembeli dengan adanya syarat.

                                    KHIYAR

 Manfaat Khiyar

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari kegiatan jual beli, karena jual beli sudah merupakan kebutuhan kita yang tidak dapat kita tinggalkan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar kegiatan jual beli mendapatkan ridla Allah Swt dan membawa kemashlahatan, diperlukan khiyar atau memilih satu diantara dua. Karena dengan memilih akan membawa manfaat bagi kita, antara lain:
1.     Kedua belah pihak tidak saling dirugikan
2.     Menghindari salah pilih, sehingga tidak menyesal di kemudian hari.
3.     Menghindari perselisihan dan permusuhan sesama kita
4.     Menghindari kecurangan dan kebohongan jual beli
5.     Agar kedua belah pihak berlapang dada (ridha sama ridha)



Cara Menjaga al-Kulliyatu al-Khamsah

 Cara Menjaga al-Kulliyatu al-Khamsah Cara menjaga lima prinsip dasar hukum Islam dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : 1) min nahiyati a...